Skip to main content

Ikatan Mabdaiyyah ; Roket Kebangkitan Manusia

Mabda merupakan 'aqidah 'aqliyyah yang menumbuhkan peraturan. Adapun aqidah ialah pemikiran integral tentang semesta alam, manusia, kehidupan, tentang apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia, serta tentang hubungan (ketiga unsur tadi) dengan apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan.

Peraturan yang tumbuh dari 'aqidah mencakup pemecahan problematika manusia, penjelasan tatacara pelaksanaan pemecahan problematika manusia, tatacara pelaksanaan pemeliharaan 'aqidah dan tatacara pelaksanaan pengembanan mabda. Tiga perkara terakhir; penjelasan tatacara pelaksanaan pemecahan problematika, pemeliharaan 'aqidah dan pengembanan da'wah disebut thariqah. Sementara 'aqidah dan berbagai pemecahan problematika manusia disebut fikrah. Jadi, mabda mencakup fikrah dan thariqah.

Mabda' haruslah muncul dalam pikiran seseorang; melalui wahyu Allah yang Ia perintahkan tablighnya, atau muncul dari kejeniusan seseorang.

Mabda' yang berasal dari wahyu Allah merupakan mabda yang shahih, karena bersumber dari Pencipta semesta alam, manusia dan kehidupan ini, yaitu Allah. Ini adalah mabda' qath'iy.

Mabda' yang berasal dari kejeniusan seseorang merupakan mabda yang bathil, karena bersumber dari 'aqal yang terbatas, yang tidak kuasa menjangkau segala wujud, juga karena pemahaman manusia terhadap proses pembuatan aturan memungkinkan adanya celah perbedaan, perselisihan, pertentangan, dan pengaruh negatif dari bi'ah tempat hidupnya, yakni pembuatan peraturan saling bertentangan yang mengakibatkan kesengsaraan manusia. Karena itu, mabda' yang muncul dari pikiran seseorang merupakan mabda' bathil secara 'aqidah dan peraturan yang lahir darinya.

Atas dasar inilah, asas suatu mabda' adalah fikrah kulliyyah (ide integral) mengenai semesta alam, manusia dan kehidupan. Thariqah yang mewujudkan dan melaksanakan (teknis penyebaran dan penjagaan) mabda' dalam kehidupan menjadi sebuah keharusan bagi ide dasar sampai mabda' terwujud.

Ide integral (fikrah kulliyyah) yang menjadi asas mabda' merupakan 'aqidah, qa'idah fikriyyah, sekaligus qiyadah fikriyyah yang -- pada pondasinyalah -- arah pemikiran dan pandangan hidup manusia ditetapkan, seluruh pemikiran dibangun, pemecahan problematika kehidupan dilaksanakan. Adapun thariqah menjadi sebuah keharusan, karena jika peraturan yang disusun dari 'aqidah itu tidak memuat penjelasan teknis tatacara pemecahan problematika kehidupan, penjagaan (pemeliharaan dan perlindungan) 'aqidah, pengembanan da'wah untuk penyebaran mabda', maka fikrah kulliyyah hanya sekedar teori belaka, falsafah khayalan yang teronggok di perut kitab tanpa ada pengaruh apapun di kehidupan dunia. Karena itu, haruslah ada 'aqidah, pemecahan problematika, thariqah teknis pelaksanaan, untuk menjadi sebuah mabda'.

Sekedar ada fikrah dan thariqah dalam suatu 'aqidah yang melahirkan peraturan, tidaklah semerta-merta menjadikan mabda' sebagai mabda' yang shahih, namun hanya menunjukkan keabsahannya boleh disebut mabda'.

Indikasi keshahihan atau kebathilan suatu mabda' adalah 'aqidahnya; benar atau salah, karena 'aqidah merupakan qa'idah fikriyyah yang menjadi pondasi seluruh pemikiran, menentukan pandangan hidup, melahirkan seluruh pemecahan problematika dan tatacara teknis pelaksanaannya. Jika qa'idah fikriyyahnya benar, maka mabda' itu shahih. Jika qa'idah fikriyyahnya salah, maka mabda itu bathil.

Jika qa'idah fikriyyah selaras dengan fithrah manusia, dibangun berlandaskan 'aqal, maka ia kaidah yang shahih. Jika menyelisihi fithrah manusia atau tidak dibangun berlandaskan 'aqal, maka ia kaidah yang bathil. Maksud dari keselarasan 'qaidah fikriyyah dengan fithrah manusia, adalah pengakuannya terhadap kelemahan dan kebutuhan manusia kepada Al-Khaliq Al-Mudabbir, yakni sesuai dengan naluri beragama (Gharizat at-Tadayyun). Maksud dari qa'idah fikriyyah dibangun berlandaskan 'aqal, adalah bahwa kaidah ini tidak dibangun berlandaskan materi (materialisme), tidak juga dibangun pada jalan tengah (sekulerisme).

Comments

Popular posts from this blog

Manusia: Musayyar atau Mukhayyar? (Part 1)

Seorang Peneliti berpendapat bahwa manusia hidup di dalam dua area . Pertama, " area yang manusia kuasai ". Area ini berada dalam lingkup kekuasaan manusia, dan seluruh perbuatan/peristiwa yang terjadi dalam area ini merupakan pilihannya. Kedua, " area yang menguasai manusia ". Area ini tidak berada dalam kendali manusia; Pada area ini, semua perbuatan/peristiwa - baik peristiwa itu berasal dari manusia ataupun peristiwa itu menimpa dirinya - seluruhnya terjadi tanpa campur tangan manusia sedikitpun. Perbuatan/peristiwa yang terjadi pada " area yang menguasai manusia ", tidak ada sedikitpun andil dan campur tangan manusia dalam kejadiannya. Area yang kedua ini terbagi dua ; Pertama, bagian yang membutuhkan Nizham al-Wujud ( sunnatullah ). Kedua, bagian yang tidak membutuhkan Nizham al-Wujud , namun tetap berada di luar kapasitas kendali manusia, dan ia tidak mampu menolak atau menghindarinya. Adapun bagian yang membutuhkan Nizham al-Wujud , maka manusia...

Mafahim : Kunci Kebangkitan Manusia

Manusia akan bangkit bersamaan dengan taraf pemikiran yang dia miliki ; yakni pemikiran tentang al-Hayat (kehidupan), al-Kawn (semesta alam), al-Insan (manusia), juga pemikiran tentang keterkaitan ketiganya dengan sesuatu sebelum dan sesudah kehidupan dunia. Maka, haruslah ada proses mengubah pemikiran manusia dewasa ini secara mendasar lagi menyeluruh, pun wajib ada proses mewujudkan pemikiran lain sehingga manusia benar-benar bangkit. Karena, pemikiranlah yang mewujudkan dan memperkuat mafahim (persepsi) manusia tentang segala sesuatu. Manusia menentukan suluk (perilaku)nya dalam kehidupan ini sesuai mafahim -nya tentang kehidupan. Mafahim manusia tentang orang yang dia cintai, menentukan bagaimana suluk -nya terhadap orang yang dia cintai, yang tentu saja berlawanan dengan suluk -nya terhadap orang yang dia benci dan ada  mafahim kebencian terhadapnya. Juga berbeda dengan suluk nya terhadap orang yang dia tidak kenal dan tiada mafahim apapun tentangnya. Jadi, suluk...

Keharusan Adanya Para Rasul

Adapun kebutuhan manusia kepada para Rasul, maka kita perlu memahami bahwa manusia adalah makhluq ciptaan Allah Ta'ala, naluri beragama merupakan salah satu kecenderungan gharizah yang fithri pada diri manusia. Secara fithrah , manusia cenderung men- taqdis -kan Pencipta-Nya , pen- taqdis -an inilah yang disebut ibadah, yakni hubungan antara manusia dengan Al-Khaliq . Jika hubungan ibadah ini dibiarkan begitu saja tanpa aturan , hal itu dapat mengakibatkan kekacauan ibadah dan dapat menyebabkan penyembahan kepada selain Pencipta . Maka, harus ada penerapan aturan hubungan ibadah ini dengan peraturan yang shahih , dan peraturan yang shahih ini tidak mungkin datang dari manusia, karena manusia tidak mampu memahami hakikat Al-Khaliq . Maka, aturan ini haruslah datang dari Al-Khaliq . Dan karena aturan ini harus sampai kepada manusia, maka harus ada para Rasul yang bertugas menyampaikan agama Allah Ta'ala kepada ummat manusia . Argumentasi lain tentang kebutuhan manusia ke...