Skip to main content

Posts

Showing posts from January, 2019

Membedah Tiga Ideologi Besar Dunia

Ada tiga ideologi yang terdapat di dunia, yaitu Kapitalisme, Sosialisme-Komunisme dan Islam. Masing-masing ideologi memiliki aqīdah yang melahirkan peraturan, mempunyai parameter bagi perbuatan manusia di kehidupan ini, memiliki konsep masyarakat yang unik dan methode tertentu untuk menerapkan peraturannya. Dari segi aqīdah, Komunisme memandang bahwa materi adalah asal-usul segala sesuatu.  Melalui proses evolusi materialistiklah, materi berkembang dan mewujud menjadi segala sesuatu. Sedangkan Kapitalisme mewajibkan pemisahan agama dari seluruh lini kehidupan, yang berdampak pada pemisahan agama dari negara. Para Kapitalis tidak ingin berdebat apakah di sana ada pencipta atau tidak, juga tidak peduli apakah eksistensi tuhan diakui atau diingkari, mereka sepakat bahwa Tuhan tidak memiliki andil dalam mengatur urusan kehidupan. Jadi, mereka - yang mengakui maupun yang menolak eksistensi pencipta - memiliki aqīdah yang sama, yaitu pemisahan agama dari seluru

Ikatan Mabdaiyyah Besar Dunia

Kita tidak akan menemukan ideologi besar di dunia ini, kecuali hanya tiga ideologi; Kapitalisme, Sosialisme-Komunisme dan Islam. Dua mabda' pertama, masing-masing diemban oleh satu atau beberapa negara. Sementara, Mabda Islam tidak diemban oleh satu negarapun, melainkan diemban oleh individu-individu dalam masyarakat. Meskipun demikian, mabda ini tetap ada di seluruh penjuru dunia. Sekulerisme-Kapitalisme Kapitalisme berdiri di atas pondasi fashl-d-dīn 'ani-l-hayāt , pemisahan agama dari seluruh lini kehidupan (sekulerisme), dimana ide sekulerisme inilah yang menjadi 'aqīdah kapitalisme, sekaligus qiyādah fikriyyah dan qā'idah fikriyyahnya. Berdasarkan qā'idah fikriyyah sekulerisme inilah, manusia diposisikan sebagai peletak aturan kehidupan, dimana aturan ini harus mempertahankan kebebasan manusia dalam beraqidah, berpendapat, kebebasan hak kepemilikan dan kebebasan pribadi. Kebebasan hak kepemilikan melahirkan sistem ekonomi kapitalisme, sebagai sistem terpopuler

Ikatan Mabdaiyyah ; Roket Kebangkitan Manusia

Mabda merupakan 'aqidah 'aqliyyah yang menumbuhkan peraturan. Adapun aqidah ialah pemikiran integral tentang semesta alam, manusia, kehidupan, tentang apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia, serta tentang hubungan (ketiga unsur tadi) dengan apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan. Peraturan yang tumbuh dari 'aqidah mencakup pemecahan problematika manusia, penjelasan tatacara pelaksanaan pemecahan problematika manusia, tatacara pelaksanaan pemeliharaan 'aqidah dan tatacara pelaksanaan pengembanan mabda. Tiga perkara terakhir; penjelasan tatacara pelaksanaan pemecahan problematika, pemeliharaan 'aqidah dan pengembanan da'wah disebut thariqah . Sementara 'aqidah dan berbagai pemecahan problematika manusia disebut fikrah . Jadi, mabda mencakup fikrah dan thariqah. Mabda' haruslah muncul dalam pikiran seseorang; melalui wahyu Allah yang Ia perintahkan tablighnya, atau muncul dari kejeniusan seseorang. Mabda' yang berasal dari wahyu Allah m

Ikatan Pendorong Kebangkitan Manusia

Setiap kali terjadi kemerosotan pola pikir, maka ikatan kebangsaan (nasionalisme) mulai tumbuh di tengah-tengah manusia. Kemerosotan pola berpikir terjadi karena kebersamaan mereka hidup di suatu wilayah tertentu dan keterikatan mereka dengan wilayah tersebut, sehingga Gharizat al-Baqa' mendorong mereka untuk mempertahankan diri dan membela negara - tempat mereka hidup dan mencari penghidupan di dalamnya. Dari sinilah muncul nasionalisme yang merupakan ikatan terlemah dan paling rendah nilainya. Ikatan yang juga terdapat dalam dunia hewan dan burung-burung yang cenderung bersifat emosional. Ikatan nasionalisme lazim terjadi pada kasus ketika ada agresi pihak asing yang melakukan penyerangan atau penaklukan terhadap suatu negeri tertentu. Dan tidak terjadi pada negeri yang aman damai (tidak ada agresi pihak asing). Ketika pihak asing berhasil dilawan dan diusir dari negeri tersebut, terhentilah ikatan nasionalisme, karena itulah ikatan ini paling rendah nilainya. Tatkala terjadi

Ilmu & Iradah Allah Meliputi Perbuatan Hamba

Adapun mengenai ilmu Allah Ta'ala, sesungguhnya ilmu-Nya tidak memaksa seorang hamba untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, karena Allah Ta'ala telah mengetahui bahwasanya seorang hamba (yang dibebaskan memilih tindakan tanpa paksaan) niscaya akan melakukan tindakan/perbuatan secara sukarela, dan bukan berlandaskan atas ilmu Allah Ta'ala, bahkan secara azali - Allah Ta'ala telah mengetahui - bahwa seorang hamba akan melakukan perbuatan tersebut. Adapun tulisan yang terdapat di Lawhul Mahfuzh tidak lain merupakan gambaran tentang kemahaluasan ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu. Iradah Allah Ta'ala juga tidak memaksa seorang hamba untuk melakukan suatu perbuatan tertentu. Justru perbuatan seorang hamba masih berada dalam cakupan iradah-Nya, selama iradah-Nya dipahami dari sisi bahwa "tidak akan terjadi sesuatu apapun di kerajaan (alam kekuasan)-Nya kecuali atas iradah-Nya", dengan kata lain "tidak ada sesuatupun di alam ini yang kejadiannya ber

al-Qadhā wa al-Qadar

Allah Ta'ala berfirman dalam Ali Imran [3]:145, Al-A'raaf [7]:34, Al-Hadid [57]:22, At-Taubah [9]:51, Saba [34]:3, Al-An'am [6]:60, An-Nisa [4]:78. Ayat-ayat ini dan ayat sejenis seringkali dipakai dalam pembahasan Qadha dan Qadar, sebagai dalil yang dipahami bahwasanya manusia dipaksa untuk melakukan perbuatannya dengan  iradah  dan  masyiatullah , dan bahwasanya Allah Ta'ala yang telah menciptakan manusia, tentu Allah Ta'ala jugalah yang menciptakan perbuatan manusia. Mereka berusaha menguatkan pendapatnya dengan Ash-Shaffat [37]:96 "Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu." dan mengambil dalil dari hadits Rasulullah SAW, seperti "Roh Qudus telah membisikkan ke dalam qalbuku: Tidak akan mati suatu jiwa sehingga ditunaikan seluruh rizqi, ajal dan apa-apa yang ditaqdirkan baginya." Masalah Qadha dan Qadar telah mengambil peranan penting di dalam madzahib Islamiyyah.  Ahlus Sunnah  berpendapat bahwa  manusia memiliki

Manusia: Musayyar atau Mukhayyar? (Part 4)

Khashiyat-khashiyat al-Asyaa', gharizah , dan Hajat al-'Udhwiyyah - yang telah Allah Ta'ala kadarkan bersifat baku, - meskipun ia memiliki pengaruh dalam proses terjadinya suatu perbuatan/peristiwa, namun khashiyat - khashiyat ini tidaklah menciptakan perbuatan/peristiwa, manusialah yang melakukan perbuatan ketika menggunakan khashiyat-khashiyat tersebut. Dorongan seksual yang terdapat pada Gharizat an-Nau' memiliki potensi baik dan buruk; Rasa lapar yang terdapat pada Hajat al-'Udhwiyyah juga memiliki potensi baik dan buruk. Akan tetapi, yang melakukan kebaikan dan keburukan itu manusia, bukan gharizah nya, bukan pula Hajat al-'Udhwiyyahnya. Hal itu karena Allah Ta'ala telah menciptakan 'aqal , juga menjadikan kemampuan idraak (mengetahui-memahami baik/buruk) dan kemampuan tamyiz (membedakan baik/buruk) di dalam tabiat 'aqal. Allah Ta'ala menunjukkan jalan baik dan jalan buruk (QS. Al-Balad [90]:10), dan menjadikan kemampuan idrak terh

Manusia: Musayyar atau Mukhayyar? (Part 3)

Khashiyat-khashiyat mengandung potensi qabiliyyah bagi perbuatan manusia; perbuatan yang sesuai dengan perintah Allah Ta'ala, maka itu baik , sebaliknya perbuatan yang menyelisihi perintah-Nya , maka itu buruk . Semua itu berlaku pada penggunaan benda beserta khashiyatnya, maupun pada pemenuhan gharizah dan al-Hajat al-'Udhwiyyah . Perbuatan manusia menjadi baik, jika sesuai dengan perintah Allah Ta'ala dan larangan-Nya. Sebaliknya, menjadi buruk jika menyelisihi perintah Allah Ta'ala dan larangan-Nya. Perbuatan/peristiwa - baik atau buruk - yang berada pada area yang menguasai manusia, semuanya berasal dari Allah Ta'ala. Khashiyat yang terdapat pada al-asyaa', gharizah dan al-Hajat al-'Udhwiyyah - apakah ia dipakai dalam kebaikan atau keburukan - seluruhnya berasal dari Allah Ta'ala. Dengan demikian, seorang Muslim wajib mengimani qadha - baik dan buruknya - dari Allah Ta'ala, yakni ia wajib meyakini bahwa perbuatan/peristiwa yang berada di lua

Manusia: Musayyar atau Mukhayyar? (Part 2)

Segala perbuatan/peristiwa yang terjadi pada area yang menguasai manusia inilah yang dinamakan qadha'un , sebab Allah Ta'ala-lah yang membuat putusannya. Karena itulah, seorang hamba tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan/peristiwa yang terjadi pada area ini - (tanpa perlu mempertimbangkan kembali segala hal yang mungkin terkandung di dalam perbuatan/peristiwa tersebut) sekalipun di dalamnya terdapat manfaat atau mudharat, meskipun terkandung rasa suka manusia yang menganggapnya baik atau rasa benci manusia yang menilainya buruk - sebab hanya Allah Ta'ala-lah yang mengetahui hakikat baik dan buruknya perbuatan/peristiwa tersebut. Sedangkan manusia tidak memiliki andil, tidak mengetahui hakikat dan tidak mengerti bagaimana cara mewujudkan perbuatan/peristiwa tersebut, serta tidak mampu untuk menolak atau menghadirkannya. Manusia hanya diwajibkan untuk mengimani qadha', bahwasanya ia berasal dari Allah Ta'ala. Adapun qadar, bahwasanya perbuatan/peristiwa -

Manusia: Musayyar atau Mukhayyar? (Part 1)

Seorang Peneliti berpendapat bahwa manusia hidup di dalam dua area . Pertama, " area yang manusia kuasai ". Area ini berada dalam lingkup kekuasaan manusia, dan seluruh perbuatan/peristiwa yang terjadi dalam area ini merupakan pilihannya. Kedua, " area yang menguasai manusia ". Area ini tidak berada dalam kendali manusia; Pada area ini, semua perbuatan/peristiwa - baik peristiwa itu berasal dari manusia ataupun peristiwa itu menimpa dirinya - seluruhnya terjadi tanpa campur tangan manusia sedikitpun. Perbuatan/peristiwa yang terjadi pada " area yang menguasai manusia ", tidak ada sedikitpun andil dan campur tangan manusia dalam kejadiannya. Area yang kedua ini terbagi dua ; Pertama, bagian yang membutuhkan Nizham al-Wujud ( sunnatullah ). Kedua, bagian yang tidak membutuhkan Nizham al-Wujud , namun tetap berada di luar kapasitas kendali manusia, dan ia tidak mampu menolak atau menghindarinya. Adapun bagian yang membutuhkan Nizham al-Wujud , maka manusia

Qadha-Qadar : Menakar Kapasitas Manusia

Allah Ta'ala berfirman dalam Ali Imran [3]:145, Al-A'raaf [7]:34, Al-Hadid [57]:22, At-Taubah [9]:51, Saba [34]:3, Al-An'am [6]:60, An-Nisa [4]:78. Ayat-ayat ini dan ayat sejenis seringkali dipakai dalam pembahasan Qadha dan Qadar, sebagai dalil yang dipahami bahwasanya manusia dipaksa untuk melakukan perbuatannya dengan iradah dan masyiatullah , dan bahwasanya Allah Ta'ala yang telah menciptakan manusia, tentu Allah Ta'ala jugalah yang menciptakan perbuatan manusia. Mereka berusaha menguatkan pendapatnya dengan Ash-Shaffat [37]:96 "Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu." dan mengambil dalil dari hadits Rasulullah SAW (1) , seperti "Roh Qudus telah membisikkan ke dalam qalbuku: Tidak akan mati suatu jiwa sehingga ditunaikan seluruh rizqi, ajal dan apa-apa yang ditaqdirkan baginya." Masalah Qadha dan Qadar telah mengambil peranan penting di dalam madzahib Islamiyyah. Ahlus Sunnah berpendapat bahwa manusia memilik

Konsekuensi Keimanan Kepada Allah Ta'ala

Iman kepada Allah Ta'ala itu dapat dicapai melalui 'aqal dan memang harus demikian. Iman kepada Allah Ta'ala menjadi dasar yang kuat untuk mengimani perkara-perkara ghaib dan segala hal yang Allah Ta'ala firmankan. Selama kita masih mengimani Allah Ta'ala yang memiliki sifat-sifat ketuhanan, maka kita pun wajib mengimani apa saja yang Allah Ta'ala firmankan , tidak peduli apakah dapat dijangkau oleh 'aqal ataupun di luar jangkauan 'aqal , semata-mata karena ia merupakan firman Allah Ta'ala. Dari sini, kita wajib mengimani Hari Kebangkitan dan Hari Pengumpulan di Padang Mahsyar, Surga, Neraka, hisab, siksa adzab, malaikat, jin, syaithan, dan apa saja yang dijelaskan dalam Al-Quran dan hadits qath'i. Iman seperti ini, meskipun diperoleh dengan cara naqli was sama' mengutip dan mendengarkan, namun pada hakikatnya ia merupakan iman 'aqliy (keimanan yang berdasarkan aqal), karena dasarnya telah dibuktikan oleh 'aqal . Karena itulah

Al-Quran : Kalam Allah Yang Tiada Banding

Adapun bukti bahwa Al-Quran berasal dari Allah Ta'ala, maka kita perlu melihat fakta Al-Quran bahwa ia merupakan sebuah kitab berbahasa Arab yang dibawa oleh Muhammad SAW . Fakta adanya kitab ini, boleh jadi berasal dari karangan orang Arab, atau karangan Muhammad, atau berasal dari Allah Ta'ala. Dan tidaklah mungkin berasal dari selain ketiga hal tersebut, karena Al-Quran berciri khas Arab, baik dari segi lughah (redaksi bahasanya) maupun uslub (gaya bahasanya) Kemungkinan bahwa ia berasal dari karangan orang Arab, ini bathil . Karena, Al-Quran telah menantang orang Arab untuk membuat karya yang serupa ( QS. Hud [11]:13 dan QS. Yunus [10]:38 ). Namun mereka tidak berhasil, meskipun telah berusaha keras membuat yang serupa. Artinya, Al-Quran bukanlah perkataan/karangan mereka, hal ini dibuktikan melalui ketidakmampuan mereka mendatangkan ayat yang serupa, walaupun mereka telah berusaha keras menjawab tantangan Al-Quran . Kemungkinan bahwa Al-Quran dikarang oleh Muhammad S

Tharīqul Īmān : Jalan Keimanan

Manusia akan bangkit bersamaan dengan taraf pemikiran yang dia miliki ; yakni pemikiran tentang  al-Hayāt  (kehidupan),  al-Kawn  (semesta alam),  al-Insān  (manusia), juga pemikiran tentang keterkaitan ketiga hal tersebut dengan sesuatu sebelum dan sesudah kehidupan dunia.  Maka, haruslah ada proses mengubah pemikiran manusia  dewasa ini secara mendasar lagi menyeluruh, pun wajib ada proses mewujudkan pemikiran lain sehingga manusia benar-benar bangkit.  Karena, pemikiranlah yang mewujudkan dan memperkuat  mafāhīm  (persepsi) manusia  tentang segala sesuatu. Manusia menentukan  sulūk  (perilaku)-nya  dalam kehidupan ini  sesuai  mafāhīm -nya  tentang kehidupan.  Mafāhīm  manusia tentang orang yang dia cintai, menentukan bagaimana  sulūk -nya terhadap orang yang dia cintai, yang tentu saja berlawanan dengan  sulūk -nya terhadap orang yang dia benci dan ada  mafāhīm  kebencian terhadapnya. Juga berbeda dengan  sulūk- nya terhadap orang yang dia tidak kenal dan tiada  mafāhīm  apapun ten