Skip to main content

Tharīqul Īmān : Jalan Keimanan

Manusia akan bangkit bersamaan dengan taraf pemikiran yang dia miliki; yakni pemikiran tentang al-Hayāt (kehidupan), al-Kawn (semesta alam), al-Insān (manusia), juga pemikiran tentang keterkaitan ketiga hal tersebut dengan sesuatu sebelum dan sesudah kehidupan dunia. Maka, haruslah ada proses mengubah pemikiran manusia dewasa ini secara mendasar lagi menyeluruh, pun wajib ada proses mewujudkan pemikiran lain sehingga manusia benar-benar bangkit. Karena, pemikiranlah yang mewujudkan dan memperkuat mafāhīm (persepsi) manusia tentang segala sesuatu.

Manusia menentukan sulūk (perilaku)-nya dalam kehidupan ini sesuai mafāhīm-nya tentang kehidupan. Mafāhīm manusia tentang orang yang dia cintai, menentukan bagaimana sulūk-nya terhadap orang yang dia cintai, yang tentu saja berlawanan dengan sulūk-nya terhadap orang yang dia benci dan ada mafāhīm kebencian terhadapnya. Juga berbeda dengan sulūk-nya terhadap orang yang dia tidak kenal dan tiada mafāhīm apapun tentangnya.

Jadi, sulūk manusia terikat dengan mafāhīm-nya. Ketika kita berkehendak untuk mengubah sulūk yang rendah menjadi sulūk yang luhur, maka kita harus mengubah mafāhīm-nya terlebih dahulu.

"Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri
QS. Ar-Ra'du [13]:11

Jalan tunggal untuk mengubah mafāhīm adalah dengan mewujudkan pemikiran tentang kehidupan dunia sehingga terwujud mafāhīm yang benar tentang kehidupan dunia. Pemikiran tentang kehidupan dunia ini tidak akan terkonsentrasi, tidak produktif dan tidak bernilai kecuali setelah terwujud pemikiran tentang semesta alam, manusia, kehidupan, pun terwujud pemikiran tentang sesuatu yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia, serta tentang keterkaitannya dengan sesuatu yang ada sebelum dan sesudahnya.

Hal itu dapat diwujudkan dengan cara memberikan ide yang menyeluruh dan sempurna tentang apa yang ada di balik semesta alam, manusia dan kehidupan. Karena, ia merupakan al-Qā'idatu al-Fikriyyatu yang seluruh ide-ide tentang kehidupan dibangun di atasnya. Pemberian ide yang menyeluruh dan sempurna tentang ketiga unsur utama tadi, merupakan solusi fundamental atas al-'Uqdatu al-Kubrā (permasalahan pokok terbesar) ummat manusia.

Tatkala, al-'Uqdatu al-Kubrā ini tersolusikan, maka permasalahan lainnya juga tersolusikan. Karena, seluruh permasalahan kehidupan pada dasarnya merupakan cabang dari al-'Uqdatu al-Kubrā. Namun, solusi ini tidak akan mengantarkan kita kepada kebangkitan yang benar, kecuali jika solusi tersebut benar, yakni bersifat manusiawi; sesuai dengan fithrah manusia, bersifat logis; memuaskan 'aqal, dan berdampak psikologis; membuat qalbu tenang.

Mustahil mencapai solusi yang benar kecuali dengan al-Fikru al-Mustanīr, yakni dengan cara memikirkan tentang semesta alam, manusia dan kehidupan ini secara cemerlang. Karena itu, bagi mereka yang mendambakan kebangkitan dan kehidupan pada jalan yang luhur, hendaklah memecahkan al-'Uqdatu al-Kubrā dengan berpikir secara cemerlang. Pemecahan seperti inilah yang disebut Aqīdah, sekaligus al-Qā'idatu al-Fikriyyatu yang di atasnya dibangun setiap pemikiran cabang tentang perilaku manusia di kehidupan ini beserta peraturan-peraturannya.

Islam telah menuntaskan al-'Uqdatu al-Kubrā, menguraikan dan memecahkannya untuk manusia dengan cara yang manusiawi; sesuai dengan fitrahlogis; memuaskan 'aqal, serta berdampak psikologis; memberikan ketenangan qalbu. Dan untuk masuk agama Islam, hal itu tergantung kepada ikrar terhadap pemecahan ini, yaitu ikrar yang muncul dari 'aqal (pemikiran yang dihasilkan melalui proses berpikir cemerlang). Karena itu, Islam dibangun di atas satu dasar, yaitu aqīdah.

Aqīdah menjelaskan bahwa di balik semesta alam, manusia, dan kehidupan, terdapat Al-Khāliq (Sang Pencipta) yang telah menciptakan ketiganya, serta yang telah menciptakan segala sesuatu lainnya, Dialah Allah Ta'ala. Bahwasanya Sang Pencipta telah menciptakan segala sesuatu dari tidak ada, menjadi ada. Ia bersifat Wājibul Wujūd, wajib adanya. Sebab, kalau tidak demikian, berarti Ia tidak mampu menjadi Al-Khaliq. Ia bukanlah makhluk, karena sifat-Nya sebagai Pencipta memastikan bahwa diri-Nya bukan makhluk. Pasti pula bahwa Ia Wājibul Wujūd, karena segala sesuatu menyandarkan wujud kepada diri-Nya; sementara Allah tidak bersandar kepada apapun.

Adapun keharusan adanya Pencipta yang menciptakan segala sesuatu, maka 'aqal hanya mampu menjangkau pemikiran tentang manusia, kehidupan dan semesta alam. Ketiga unsur ini bersifat terbatas, lemah, serba kurang, dan saling membutuhkan kepada yang lain. Manusia terbatas, karena ia tumbuh dan berkembang sampai pada batas tertentu yang tidak dapat dilampuinya lagi, maka manusia bersifat terbatas. Kehidupan terbatas, karena penampakannya bersifat individual. Fakta yang terindera selalu menunjukkan bahwa hidup ini berakhir pada satu individu saja. Jadi, hidup juga bersifat terbatas. Semesta alam terbatas. Sebab, semesta alam merupakan himpunan benda-benda angkasa, yang setiap bendanya memiliki keterbatasan. Himpunan segala sesuatu yang terbatas, tentu terbatas pula sifatnya. Jadi, alam semesta pun bersifat terbatas. Walhasil, manusia, kehidupan, dan semesta alam, ketiganya bersifat terbatas.

Tatkala kita mengamati sesuatu yang terbatas, kita mendapatinya bukan azali. Sebab, jika ia Azali, tentu bersifat tidak terbatas. Maka, sesuatu yang terbatas haruslah diciptakan oleh "sesuatu yang lain". Dan "sesuatu yang lain" ini, Dialah Al-Khāliq yang menciptakan manusia, kehidupan dan semesta alam. Dan Al-Khāliq ini, baik Ia diciptakan oleh yang lain, atau Ia menciptakan diri-Nya sendiri, atau Ia bersifat Azali dan Wājibul Wujūd, maka akan dibahas satu persatu.

Adapun pernyataan bahwa Ia diciptakan oleh yang lain, ini pernyataan yang bāthil. Karena, jika Ia diciptakan, artinya Ia bersifat terbatas, (sementara Al-Khāliq mustahil bersifat terbatas). Adapun pernyataan bahwa Ia menciptakan diri-Nya sendiri, ini juga bāthil, karena, ia memerankan sebagai makhlūq (yang diciptakan), sekaligus berperan sebagai Al-Khāliq (yang menciptakan) dalam satu waktu yang bersamaan, hal ini merupakan pernyataan yang tertolak oleh nalar. Maka, Al-Khāliq harus bersifat Azali dan Wājibul Wujūd, Dialah Allah Ta'ala.

Siapa pun yang memiliki 'aqal - hanya dengan sekedar mengindera wujud benda saja - ia akan menyadari bahwa ada Pencipta yang menciptakannya. Sebab, segala sesuatu yang dapat diindera bersifat serba kurang, lemah dan saling membutuhkan. Sifat-sifat inilah yang menunjukkan bahwa mereka hanyalah makhluq yang diciptakan. Karena itu, pembuktian wujud Pencipta Yang Maha Pengatur, sebenarnya cukup dengan memperhatikan segala sesuatu yang terdapat di semesta alam, kehidupan dan diri manusia. Pengamatan terhadap planet-planet di semesta alam, perenungan terhadap fenomena kehidupan, kesadaran terhadap diri manusia - pastilah akan membuktikan wujud Allah Ta'ala.

Karena itu, kita mendapati Al-Quran sering mengarahkan perhatian kepada benda-benda, mengajak manusia untuk mengamatinya dan mencermati apa yang berada di sekelilingnya, atau apa yang berhubungan dengannya, kemudian menjadikan hasil pengamatannya tersebut sebagai argumentasi pembuktian wujud Allah Ta'ala. Dengan memperhatikan bagaimana sifat dan perilaku benda-benda tersebut, yang saling membutuhkan satu sama lain, maka hal tersebut memberikan sebuah kesadaran yang meyakinkan terhadap wujud Allah Al-Khaliq Al-Mudabbir.

Al-Quran telah mendatangkan ratusan ayat berkenaan dengan pengertian ini, diantaranya QS. Ali Imran [3]:190QS. Ar-Rum [30]:22QS. Al-Ghasyiyah [88]:17-20QS. Ath-Thariq [86]:5-7QS. Al-Baqarah [2]:164, dan ayat lain yang mengajak manusia agar memperhatikan benda-benda dan sekelilingnya serta yang berhubungan dengannya secara mendalam, cermat dan seksama. Kemudian, menjadikan hasil pengamatannya tersebut sebagai dalil pembuktian wujud Pencipta Yang Maha Pengatur, sehingga imannya kepada Allah Ta'ala menjadi iman yang kuat dan mapan; iman yang ditopang oleh bukti nyata yang meyakinkan dan iman yang diverifikasi oleh 'aqal (pemikiran yang berasal dari proses berpikir cemerlang).

Iman kepada Pencipta Yang Maha Pengatur merupakan fithrah manusia. Hanya saja, iman yang fitri ini muncul dari wijdan (perasaan sanubari) belaka yang dampaknya sangat beresiko dan tidak dapat dikonsentrasikan. Perasaan sanubari seringkali menambahkan sesuatu yang tidak ada hakikatnya terhadap apa yang dipercayainya, bahkan mengkhayalkan sesuatu yang ia percayai tersebut memiliki sifat-sifat lazimah, sehingga ia terjerumus ke dalam kekufuran dan kesesatan. Penyembahan berhala, khurafat dan aliran kebathinan tidak lain merupakan dampak dari kesalahan wijdan ini.

Karenanya, Islam tidak membiarkan wijdan sebagai jalan tunggal untuk meraih keimanan, agar seseorang tidak menambahi sifat-sifat lain yang bertentangan dengan sifat uluhiyyah Allah Ta'ala, supaya tidak ada yang mengkhayalkan penjelmaan Allah Ta'ala ke dalam bentuk materi, agar tidak ada yang menggambarkan pendekatan kepada-Nya dengan penyembahan materi yang menjerumuskan ke arah kekufuran, syirik, waham imajinasi sesat, dan khurafat - yang keimanan shadiq pasti menolaknya. Karena itu, Islam memanfaatkan pemakaian 'aqal bersama wijdan.

Islam mewajibkan setiap Muslim untuk menggunakan 'aqal-nya ketika mengimani Allah Ta'ala, dan melarang taqlid dalam aqidah, karena itulah Islam menjadikan 'aqal sebagai hukum di dalam meraih keimanan terhadap Allah Ta'ala, sebagaimana firman Allah Ta'ala:

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang, terdapat ayat-ayat bagi mereka yang memiliki albaab."
QS. Ali Imran [3]:190

Dengan demikian, setiap Muslim wajib menjadikan imannya muncul dari proses berpikir, pencarian bukti nyata dan penelitian seksama, dan hendaklah men-tahkim-kan 'aqal-nya secara mutlak dalam masalah iman kepada Allah Ta'ala. Seruan kepada penelitian semesta alam secara seksama untuk mencari sunnatullah dan meraih petunjuk kepada keimanan terhadap Penciptanya telah diulang-ulang ratusan kali oleh Al-Quran dalam surat yang berbeda. Semuanya ditujukan kepada potensi 'aqal manusia supaya ia melakukan tadabbur dan perenungan mendalam, sehingga imannya terbit dari 'aqal dan bukti nyata. Juga untuk memperingatkan agar ia tidak mengikuti jejak nenek moyang tanpa penelitian, tanpa pengujian dan tanpa keyakinan terhadap kebenarannya.

Inilah keimanan yang diserukan oleh Islam. Iman semacam ini bukanlah yang dinamakan sebagai keimanan orang-orang yang lemah, justru inilah keimanan orang yang cemerlang dan meyakinkan, yang senantiasa mengamati (semesta alam, kehidupan dan manusia), berpikir dan berpikir, yang dengan pengamatan dan proses berpikir inilah ia sampai kepada keyakinan adanya Allah Yang Maha Kuasa.

Meskipun manusia wajib menggunakan 'aqal-nya dalam pencapaian iman kepada Allah Ta'ala, namun ia tidak mungkin mengetahui apa yang berada di luar jangkauan indera dan 'aqal-nya. Karena 'aqal manusia terbatas, kemampuannya juga terbatas meskipun tetap meningkat dan bertumbuh dengan batasan-batasan tak terhingga, keterbatasan kemampuannya ini menjadikan pengetahuannya juga terbatas. Maka, perlu membatasi 'aqal, bahwa ia tidak mungkin mampu menjangkau Dzat Allah dan hakikat-Nya. Karena Allah Ta'ala berada di balik semesta alam, manusia dan kehidupan. Sementara 'aqal manusia tidak mampu memahami hakikat sesuatu yang berada di luar jangkauannya, sehingga ia pun tidak akan mampu memahami Dzat Allah Ta'ala.

Lalu, "Bagaimana mungkin manusia mengimani Allah Ta'ala dengan 'aqal, sementara 'aqalnya tidak mampu memahami Dzat Allah Ta'ala?" ini merupakan pertanyaan yang tidak pas, karena hakikat iman itu sesungguhnya mempercayai wujud Allah Ta'ala, dan wujud-Nya dapat dipahami dari wujud ciptaan-Nya; semesta alam, manusia dan kehidupan. Ketiga unsur ini berada dalam batas jangkauan yang dapat dipahami oleh 'aqal, sehingga - dengan memahami ketiga unsur ini - 'aqal mampu memahami wujud Al-Khaliq yang menciptakan ketiganya, Dialah Allah Ta'ala.

Karena itu, iman mempercayai wujud Allah Ta'ala melalui 'aqal masih dalam batasan jangkauan 'aqal. Tidak seperti usaha memahami Dzat Allah Ta'ala yang merupakan suatu kemustahilan, karena Dzat Allah Ta'ala berada di balik semesta alam, manusia dan kehidupan. Artinya ia berada di luar jangkauan 'aqal. Sementara 'aqal tidak mungkin memahami hakikat yang ada di luar jangkauannya, karena keterbatasannya untuk memahami hal tersebut. Dan keterbatasan ini semestinya menjadi penguat keimanan, bukan sebagai penyebab kebimbangan dan keraguan.

Sesungguhnya, tatkala keimanan kita kepada Allah Ta'ala datang dari proses berpikir cemerlang, maka kesadaran kita terhadap wujud-Nya adalah kesadaran yang sempurna. Dan ketika perasaan kita terhadap wujud Allah dikaitkan dengan 'aqal, perasaan ini menjadi perasaan yang meyakinkan. Semua ini memberikan kita pemahaman yang sempurna dan perasaan yang meyakinkan terhadap sifat-sifat ketuhanan.

Hal ini mencukupkan kita bahwa kita tidak akan mampu menjangkau dan memahami hakikat Dzat Allah Ta'ala. Dan bahwa kita wajib menerima semua yang Allah Ta'ala kabarkan tentang hal-hal yang 'aqal tidak mampu mencapai pemahaman terhadapnya. Ini disebabkan karena kelemahan 'aqal manusia - yang memiliki ukuran-ukuran nisbi serba terbatas - dalam memahami apa yang berada di luar jangkauannya. Padahal untuk memahami apa yang berada di luar jangkauan 'aqal, diperlukan ukuran-ukuran yang tidak nisbi dan tidak terbatas, yang justru tidak dimiliki oleh manusia, dan memang manusia tidak akan pernah sanggup memilikinya.

Adapun kebutuhan manusia kepada para Rasul, maka kita perlu memahami bahwa manusia adalah makhluq ciptaan Allah Ta'ala, naluri beragama merupakan salah satu kecenderungan gharizah yang fithri pada diri manusia. Secara fithrahmanusia cenderung men-taqdis-kan Pencipta-Nya, pen-taqdis-an inilah yang disebut ibadah, yakni hubungan antara manusia dengan Al-Khaliq.

Jika hubungan ibadah ini dibiarkan begitu saja tanpa aturan, hal itu dapat mengakibatkan kekacauan ibadah dan dapat menyebabkan penyembahan kepada selain Pencipta. Maka, harus ada penerapan aturan hubungan ibadah ini dengan peraturan yang shahih, dan peraturan yang shahih ini tidak mungkin datang dari manusia, karena manusia tidak mampu memahami hakikat Al-Khaliq. Maka, aturan ini haruslah datang dari Al-Khaliq. Dan karena aturan ini harus sampai kepada manusia, maka harus ada para Rasul yang bertugas menyampaikan agama Allah Ta'ala kepada ummat manusia.

Argumentasi lain tentang kebutuhan manusia kepada para Rasul, bahwa manusia butuh memenuhi pemuasan gharizah-nya dan perlu memuaskan kebutuhan-kebutuhan jasmaninya (al-Hajat al-'Udhwiyyah). Pemuasan gharizah dan al-Hajat al-'Udhwiyyah ini - jika dibiarkan berjalan tanpa aturan - dapat mengakibatkan pemuasan yang salah dan menyimpang, yang akhirnya berujung pada kesengsaraan manusia. Maka, harus ada aturan yang mengatur gharizah manusia dan al-Hajat al-'Udhwiyyah-nya.

Aturan tersebut tidak boleh datang dari manusia, karena pemahaman manusia dalam mengatur gharizah dan al-Hajat al-'Udhwiyyah sangat rentan terhadap perbedaan, perselisihan, pertentangan dan terpengaruh lingkungan setempat. Apabila manusia dibarkan membuat aturan sendiri, maka aturan tersebut sangat mungkin terjadi perbedaan, perselisihan, pertentangan, yang akan menimbulkan kesengsaraan manusia, maka aturan tersebut harus datang dari Allah Ta'ala (melalui para Rasul).

Adapun bukti bahwa Al-Quran berasal dari Allah Ta'ala, maka kita perlu melihat fakta Al-Quran bahwa ia merupakan sebuah kitab berbahasa Arab yang dibawa oleh Muhammad SAW. Fakta adanya kitab ini, boleh jadi berasal dari karangan orang Arab, atau karangan Muhammad, atau berasal dari Allah Ta'ala. Dan tidaklah mungkin berasal dari selain ketiga hal tersebut, karena Al-Quran berciri khas Arab, baik dari segi lughah (redaksi bahasanya) maupun uslub (gaya bahasanya)

Kemungkinan bahwa ia berasal dari karangan orang Arab, ini bathil. Karena, Al-Quran telah menantang orang Arab untuk membuat karya yang serupa (QS. Hud [11]:13 dan QS. Yunus [10]:38). Namun mereka tidak berhasil, meskipun telah berusaha keras membuat yang serupa. Artinya, Al-Quran bukanlah perkataan/karangan mereka, hal ini dibuktikan melalui ketidakmampuan mereka mendatangkan ayat yang serupa, walaupun mereka telah berusaha keras menjawab tantangan Al-Quran.

Kemungkinan bahwa Al-Quran dikarang oleh Muhammad SAW, ini juga bathil. Karena, Muhammad SAW itu orang Arab, sejenius apapun, ia masih seorang individu manusia yang merupakan bagian dari masyarakat dan bangsa Arab, selama bangsa Arab tidak mampu mendatangkan ayat yang serupa, maka tentu saja Muhammad SAW juga tidak mampu membuat karya yang serupa. Maka, Al-Quran itu bukanlah karangan Muhammad SAW.

Selain itu, banyak hadits-hadits shahih yang berasal dari Nabi Muhammad SAW, dan sebagian diriwayatkan secara tawatur yang kebenarannya tidak diragukan lagi. Apabila tiap hadits dibandingkan dengan ayat Al-Quran, tidak akan ditemukan kemiripan gaya bahasanya, padahal Nabi Muhammad SAW mentilawahkan setiap ayat yang diwahyukan kepada beliau, sekaligus beliau mengeluarkan hadits dalam waktu yang bersamaan, tetap saja diantara keduanya ada perbedaan dalam gaya bahasa.

Bagaimanapun kerasnya usaha seseorang untuk membuat berbagai macam gaya bahasa dalam perkataannya, tetap saja terdapat kemiripan, karena muncul dari ciri khasnya. Karena tiada kemiripan antara gaya bahasa Al-Quran dengan gaya bahasa hadits, maka Al-Quran bukanlah perkataan Muhammad SAW, dikarenakan perbedaan antara Al-Quran dan hadits sudah sangat jelas. Namun, orang Arab masih menuduh Muhammad telah mengutip Al-Quran dari seorang Nasrani bernama Jabar. Allah Ta'ala menolak tuduhan tersebut dalam QS. An-Nahl [16]:103.

Dengan apa yang telah dibuktikan bahwa Al-Quran bukanlah perkataan orang Arabbukan pula karangan Muhammad SAW, maka Al-Quran secara pasti merupakan kalamullah, yang menjadi mu'jizat bagi orang yang membawanya. Fakta bahwa Muhammad SAW adalah yang membawa Al-Quran yang merupakan kalamullah dan syariat-Nya, dan tiada yang membawa syariat Allah Ta'ala melainkan para Nabi dan Rasul, maka berdasarkan dalil 'aqli dapat diyakini secara pasti bahwa Muhammad SAW adalah seorang Nabiyullah dan Rasulullah.

Iman kepada Allah Ta'ala itu dapat dicapai melalui 'aqal dan memang harus demikian. Iman kepada Allah Ta'ala menjadi dasar yang kuat untuk mengimani perkara-perkara ghaib dan segala hal yang Allah Ta'ala firmankan. Selama kita masih mengimani Allah Ta'ala yang memiliki sifat-sifat ketuhanan, maka kita pun wajib mengimani apa saja yang Allah Ta'ala firmankantidak peduli apakah dapat dijangkau oleh 'aqal ataupun di luar jangkauan 'aqal, semata-mata karena ia merupakan firman Allah Ta'ala.

Dari sini, kita wajib mengimani Hari Kebangkitan dan Hari Pengumpulan di Padang Mahsyar, Surga, Neraka, hisab, siksa adzab, malaikat, jin, syaithan, dan apa saja yang dijelaskan dalam Al-Quran dan hadits qath'i. Iman seperti ini, meskipun diperoleh dengan cara naqli was sama' mengutip dan mendengarkan, namun pada hakikatnya ia merupakan iman 'aqliy (keimanan yang berdasarkan aqal), karena dasarnya telah dibuktikan oleh 'aqal.

Karena itulah, Aqidah seorang Muslim harus bersandar kepada 'aqal atau pada sesuatu yang 'aqal telah membuktikan kebenarannya. Seorang Muslim wajib meyakini apa yang telah dibuktikan oleh 'aqal atau apa yang telah dibuktikan oleh Al-Quran dan hadits mutawatir. Seorang Muslim haram mengimani segala hal yang tidak dibuktikan melalui 'aqal dan Al-Quran serta hadits mutawatir yang qath'i. Karena Aqidah tidak boleh diambil kecuali dari jalur yang pasti.

Berdasarkan hal itu, maka wajib bagi kita mengimani apa yang ada sebelum kehidupan dunia - Dialah Allah Ta'ala, dan wajib mengimani apa yang ada setelah kehidupan dunia - yaitu Yawmul Qiyamah, wajib pula mengimani bahwa perintah Allah Ta'ala merupakan penghubung antara kehidupan dunia dan kehidupan sebelumnya - yang dikaitkan dengan alasan penciptaan, dan bahwa perhitungan amal manusia atas apa yang ia kerjakan di kehidupan dunia merupakan penghubung antara kehidupan akhirat dengan kehidupan dunia - yang dikaitkan kepada Hari Kebangkitan dan Hari Pengumpulan di Padang Mahsyar.

Maka, hendaknya kehidupan dunia ini harus dihubungkan dengan apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia. Dan hendaknya keadaan manusia di dalam kehidupan dunia ini, haruslah terikat dengan hubungan tersebut. Jadi, manusia wajib menjalani kehidupan dunia ini sesuai dengan peraturan syariat Allah Ta'ala, dan wajib meyakini bahwa ia akan dihisab pada Hari Qiyamat atas semua amalan yang ia perbuat di kehidupan dunia.

Dengan ini, diraihlah al-Fikru al-Mustanir tentang apa yang ada di sebalik semesta alam, kehidupan dan manusia, didapatkan pula al-Fikru al-Mustanir tentang apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia; bahwasanya kehidupan dunia memiliki pertautan dengan apa yang ada sebelum dan sesudahnya. Dengan demikian, al-'Uqdah al-Kubra telah terurai dan tersolusikan secara sempurna oleh aqidah Islam.

Tatkala manusia telah selesai menguraikan problematika al-'Uqdah al-Kubra, maka ia dapat beralih memikirkan kehidupan dunia dan mewujudkan mafahim yang benar dan produktif tentang kehidupan ini. Penguraian problematika al-'Uqdah al-Kubra inilah yang menjadi asas dasar bagi berdirinya mabda ideologi Islam yang dijadikan sebagai metode menuju kebangkitan. Sekaligus asas dasar bagi berdirinya hadlarah mabda Islam. Bahkan, ia pun sebagai asas dasar yang melahirkan peraturan-peraturan dan tegaknya Daulah Islam. Jadi, asas dasar tegaknya Islam - secara fikrah (ide dasar) dan thariqah (metode pelaksanaan fikrah) - adalah aqidah Islam.

Allah Ta'ala berfirman dalam surat An-Nisa [4] ayat 136:

"Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan kepada al-Kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya dan kepada al-Kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Para Rasul-Nya dan Hari Akhir, sungguh ia telah tersesat, sebuah kesesatan yang jauh."

Adapun ketika semua ini sudah terbukti dan iman kepada Allah Ta'ala menjadi suatu keharusan, maka wajib bagi setiap Muslim untuk mengimani syariat Islam secara total, karena seluruh syariat Islam tertulis dalam al-Quran al-Karim dan ia dibawa oleh Rasulullah SAW. Apabila tidak beriman, berarti ia kafir. Karena itu, mengingkari atau menolak hukum-hukum syariat secara keseluruhan, atau hukum-hukum syariat yang qath'i secara rinci, dapat menyebabkan kekafiran. Tidak peduli apakah ia menolak hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan ibadat, atau mu'amalah, atau 'uqubat, atau math'umat, (semuanya sama saja dapat menjerumuskan ke dalam jurang kekafiran - pen).

Jadi, kufur terhadap ayat "wa aqiimuu ash-shalaata" (ayat ibadah tentang perintah mendirikan shalat) sama halnya kufur terhadap Al-Baqarah [2]:275 (ayat mu'amalat tentang kehalalan jual beli dan keharaman riba), sama juga kufur terhadap Al-Maidah [5]:38 (ayat uqubat tentang hukuman potong tangan bagi pencuri), kekufuran yang sama terhadap Al-Maidah [5]:3 (ayat math'umat tentang keharaman memakan bangkai, darah, babi dan hewan sembelihan tanpa menyebut nama Allah).

Mengimani syariat Allah Ta'ala tidak cukup dilandaskan pada 'aqal semata, bahkan ia harus disertai sikap penyerahan diri dan penerimaan secara total terhadap setiap sesuatu dan segala hal yang datang dari sisi Allah Ta'ala, sebagaimana Allah berfirman:

"Maka demi Rabb-mu, mereka itu tidak beriman sehingga mereka menjadikanmu (Hai Muhammad) sebagai hakim di dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasakan ganjalan keberatan di dalam diri mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan penerimaan yang total."

QS. An-Nisa [4]:65

Comments

Popular posts from this blog

Irobul Qurān : Al-Falaq

اعراب القرآن ؛ سورة الفلق ٠٦  جمادى الأولى ١٤٤١ | ٠٢ ينايير   ٢٠٢٠ ===================== قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ الفَلَقِ ===================== قُلْ ؛ فعل أمر للمخاطب | لمفرد مذكّر | مبني على السكون | فاعله اسم ضمير مستتر تقديره أنتَ أَعُوْذُ ؛ فعل مضارع للمتكلّم وحده | لمفرد مذكّر أو مؤنّث | مرفوع لتجرده عن عوامل النواصب و الجوازم | علامة رفعه ضامّة ظاهرة على الآخر | فاعله اسم ضمير مستتر تقديره أنَا بِ ؛ حرف جرّ | مبنيّ على الكسرة ربِّ ؛ ٍاسم نكرة | مفرد مذكّر | مجرور بحرف جرّ | علامة جرّه كسرة ظاهرة على الآخر | و هو مضاف الفَلَقِ ؛ اسم معرفة بدخول الألف و اللام | مفرد مذكّر | مجرور بالاضافة | علامة جرّه كسرة ظاهرة على الآخر | و هو مضاف إليه -------------------------------------  قُلْ أنتَ ؛ فعل و فاعل | جملة فعلية أعوذُ أنَا ؛ فعل و فاعل | جملة فعية بربّ ؛ جار و مجرور | شبه جملة | متعلق بفعل أَعُوْذُ ربّ الفلق ؛ مضاف و مضاف إليه | تركيب اضافي | اسم معرفة بالاضافة ===================== مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ ===================== مِنْ ؛ شَرِّ ؛ مَا ؛ خَلَقَ ؛ ===================== وَ مِن

Manusia: Musayyar atau Mukhayyar? (Part 2)

Segala perbuatan/peristiwa yang terjadi pada area yang menguasai manusia inilah yang dinamakan qadha'un , sebab Allah Ta'ala-lah yang membuat putusannya. Karena itulah, seorang hamba tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan/peristiwa yang terjadi pada area ini - (tanpa perlu mempertimbangkan kembali segala hal yang mungkin terkandung di dalam perbuatan/peristiwa tersebut) sekalipun di dalamnya terdapat manfaat atau mudharat, meskipun terkandung rasa suka manusia yang menganggapnya baik atau rasa benci manusia yang menilainya buruk - sebab hanya Allah Ta'ala-lah yang mengetahui hakikat baik dan buruknya perbuatan/peristiwa tersebut. Sedangkan manusia tidak memiliki andil, tidak mengetahui hakikat dan tidak mengerti bagaimana cara mewujudkan perbuatan/peristiwa tersebut, serta tidak mampu untuk menolak atau menghadirkannya. Manusia hanya diwajibkan untuk mengimani qadha', bahwasanya ia berasal dari Allah Ta'ala. Adapun qadar, bahwasanya perbuatan/peristiwa -

Ikatan Pendorong Kebangkitan Manusia

Setiap kali terjadi kemerosotan pola pikir, maka ikatan kebangsaan (nasionalisme) mulai tumbuh di tengah-tengah manusia. Kemerosotan pola berpikir terjadi karena kebersamaan mereka hidup di suatu wilayah tertentu dan keterikatan mereka dengan wilayah tersebut, sehingga Gharizat al-Baqa' mendorong mereka untuk mempertahankan diri dan membela negara - tempat mereka hidup dan mencari penghidupan di dalamnya. Dari sinilah muncul nasionalisme yang merupakan ikatan terlemah dan paling rendah nilainya. Ikatan yang juga terdapat dalam dunia hewan dan burung-burung yang cenderung bersifat emosional. Ikatan nasionalisme lazim terjadi pada kasus ketika ada agresi pihak asing yang melakukan penyerangan atau penaklukan terhadap suatu negeri tertentu. Dan tidak terjadi pada negeri yang aman damai (tidak ada agresi pihak asing). Ketika pihak asing berhasil dilawan dan diusir dari negeri tersebut, terhentilah ikatan nasionalisme, karena itulah ikatan ini paling rendah nilainya. Tatkala terjadi