Siapa pun yang memiliki 'aqal - hanya dengan sekedar mengindera wujud benda saja - ia akan menyadari bahwa ada Pencipta yang menciptakannya. Sebab, segala sesuatu yang dapat diindera bersifat serba kurang, lemah dan saling membutuhkan. Sifat-sifat inilah yang menunjukkan bahwa mereka hanyalah makhluq yang diciptakan. Karena itu, pembuktian wujud Pencipta Yang Maha Pengatur, sebenarnya cukup dengan memperhatikan segala sesuatu yang terdapat di semesta alam, kehidupan dan diri manusia. Pengamatan terhadap planet-planet di semesta alam, perenungan terhadap fenomena kehidupan, kesadaran terhadap diri manusia - pastilah akan membuktikan wujud Allah Ta'ala.
Karena itu, kita mendapati Al-Quran sering mengarahkan perhatian kepada benda-benda, mengajak manusia untuk mengamatinya dan mencermati apa yang berada di sekelilingnya, atau apa yang berhubungan dengannya, kemudian menjadikan hasil pengamatannya tersebut sebagai argumentasi pembuktian wujud Allah Ta'ala. Dengan memperhatikan bagaimana sifat dan perilaku benda-benda tersebut, yang saling membutuhkan satu sama lain, maka hal tersebut memberikan sebuah kesadaran yang meyakinkan terhadap wujud Allah Al-Khaliq Al-Mudabbir.
Al-Quran telah mendatangkan ratusan ayat berkenaan dengan pengertian ini, diantaranya QS. Ali Imran [3]:190, QS. Ar-Rum [30]:22, QS. Al-Ghasyiyah [88]:17-20, QS. Ath-Thariq [86]:5-7, QS. Al-Baqarah [2]:164, dan ayat lain yang mengajak manusia agar memperhatikan benda-benda dan sekelilingnya serta yang berhubungan dengannya secara mendalam, cermat dan seksama. Kemudian, menjadikan hasil pengamatannya tersebut sebagai dalil pembuktian wujud Pencipta Yang Maha Pengatur, sehingga imannya kepada Allah Ta'ala menjadi iman yang kuat dan mapan; iman yang ditopang oleh bukti nyata yang meyakinkan dan iman yang diverifikasi oleh 'aqal (pemikiran yang berasal dari proses berpikir cemerlang).
Iman kepada Pencipta Yang Maha Pengatur merupakan fithrah manusia. Hanya saja, iman yang fitri ini muncul dari wijdan (perasaan sanubari) belaka yang dampaknya sangat beresiko dan tidak dapat dikonsentrasikan. Perasaan sanubari seringkali menambahkan sesuatu yang tidak ada hakikatnya terhadap apa yang dipercayainya, bahkan mengkhayalkan sesuatu yang ia percayai tersebut memiliki sifat-sifat lazimah, sehingga ia terjerumus ke dalam kekufuran dan kesesatan. Penyembahan berhala, khurafat dan aliran kebathinan tidak lain merupakan dampak dari kesalahan wijdan ini.
Karenanya, Islam tidak membiarkan wijdan sebagai jalan tunggal untuk meraih keimanan, agar seseorang tidak menambahi sifat-sifat lain yang bertentangan dengan sifat uluhiyyah Allah Ta'ala, supaya tidak ada yang mengkhayalkan penjelmaan Allah Ta'ala ke dalam bentuk materi, agar tidak ada yang menggambarkan pendekatan kepada-Nya dengan penyembahan materi yang menjerumuskan ke arah kekufuran, syirik, waham imajinasi sesat, dan khurafat - yang keimanan shadiq pasti menolaknya. Karena itu, Islam memanfaatkan pemakaian 'aqal bersama wijdan.
Comments
Post a Comment