Skip to main content

Keharusan Adanya Para Rasul

Adapun kebutuhan manusia kepada para Rasul, maka kita perlu memahami bahwa manusia adalah makhluq ciptaan Allah Ta'ala, naluri beragama merupakan salah satu kecenderungan gharizah yang fithri pada diri manusia. Secara fithrah, manusia cenderung men-taqdis-kan Pencipta-Nya, pen-taqdis-an inilah yang disebut ibadah, yakni hubungan antara manusia dengan Al-Khaliq.

Jika hubungan ibadah ini dibiarkan begitu saja tanpa aturan, hal itu dapat mengakibatkan kekacauan ibadah dan dapat menyebabkan penyembahan kepada selain Pencipta. Maka, harus ada penerapan aturan hubungan ibadah ini dengan peraturan yang shahih, dan peraturan yang shahih ini tidak mungkin datang dari manusia, karena manusia tidak mampu memahami hakikat Al-Khaliq. Maka, aturan ini haruslah datang dari Al-Khaliq. Dan karena aturan ini harus sampai kepada manusia, maka harus ada para Rasul yang bertugas menyampaikan agama Allah Ta'ala kepada ummat manusia.

Argumentasi lain tentang kebutuhan manusia kepada para Rasul, bahwa manusia butuh memenuhi pemuasan gharizah-nya dan perlu memuaskan kebutuhan-kebutuhan jasmaninya (al-Hajat al-'Udhwiyyah). Pemuasan gharizah dan al-Hajat al-'Udhwiyyah ini - jika dibiarkan berjalan tanpa aturan - dapat mengakibatkan pemuasan yang salah dan menyimpang, yang akhirnya berujung pada kesengsaraan manusia. Maka, harus ada aturan yang mengatur gharizah manusia dan al-Hajat al-'Udhwiyyah-nya.

Aturan tersebut tidak boleh datang dari manusia, karena pemahaman manusia dalam mengatur gharizah dan al-Hajat al-'Udhwiyyah sangat rentan terhadap perbedaan, perselisihan, pertentangan dan terpengaruh lingkungan setempat. Apabila manusia dibarkan membuat aturan sendiri, maka aturan tersebut sangat mungkin terjadi perbedaan, perselisihan, pertentangan, yang akan menimbulkan kesengsaraan manusia, maka aturan tersebut harus datang dari Allah Ta'ala (melalui para Rasul).

Comments

Popular posts from this blog

Manusia: Musayyar atau Mukhayyar? (Part 1)

Seorang Peneliti berpendapat bahwa manusia hidup di dalam dua area . Pertama, " area yang manusia kuasai ". Area ini berada dalam lingkup kekuasaan manusia, dan seluruh perbuatan/peristiwa yang terjadi dalam area ini merupakan pilihannya. Kedua, " area yang menguasai manusia ". Area ini tidak berada dalam kendali manusia; Pada area ini, semua perbuatan/peristiwa - baik peristiwa itu berasal dari manusia ataupun peristiwa itu menimpa dirinya - seluruhnya terjadi tanpa campur tangan manusia sedikitpun. Perbuatan/peristiwa yang terjadi pada " area yang menguasai manusia ", tidak ada sedikitpun andil dan campur tangan manusia dalam kejadiannya. Area yang kedua ini terbagi dua ; Pertama, bagian yang membutuhkan Nizham al-Wujud ( sunnatullah ). Kedua, bagian yang tidak membutuhkan Nizham al-Wujud , namun tetap berada di luar kapasitas kendali manusia, dan ia tidak mampu menolak atau menghindarinya. Adapun bagian yang membutuhkan Nizham al-Wujud , maka manusia...

Mafahim : Kunci Kebangkitan Manusia

Manusia akan bangkit bersamaan dengan taraf pemikiran yang dia miliki ; yakni pemikiran tentang al-Hayat (kehidupan), al-Kawn (semesta alam), al-Insan (manusia), juga pemikiran tentang keterkaitan ketiganya dengan sesuatu sebelum dan sesudah kehidupan dunia. Maka, haruslah ada proses mengubah pemikiran manusia dewasa ini secara mendasar lagi menyeluruh, pun wajib ada proses mewujudkan pemikiran lain sehingga manusia benar-benar bangkit. Karena, pemikiranlah yang mewujudkan dan memperkuat mafahim (persepsi) manusia tentang segala sesuatu. Manusia menentukan suluk (perilaku)nya dalam kehidupan ini sesuai mafahim -nya tentang kehidupan. Mafahim manusia tentang orang yang dia cintai, menentukan bagaimana suluk -nya terhadap orang yang dia cintai, yang tentu saja berlawanan dengan suluk -nya terhadap orang yang dia benci dan ada  mafahim kebencian terhadapnya. Juga berbeda dengan suluk nya terhadap orang yang dia tidak kenal dan tiada mafahim apapun tentangnya. Jadi, suluk...