Islam mewajibkan setiap Muslim untuk menggunakan 'aqal-nya ketika mengimani Allah Ta'ala, dan melarang taqlid dalam aqidah, karena itulah Islam menjadikan 'aqal sebagai hukum di dalam meraih keimanan terhadap Allah Ta'ala, sebagaimana firman Allah Ta'ala:
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang, terdapat ayat-ayat bagi mereka yang memiliki albaab."
QS. Ali Imran [3]:190
Dengan demikian, setiap Muslim wajib menjadikan imannya muncul dari proses berpikir, pencarian bukti nyata dan penelitian seksama, dan hendaklah men-tahkim-kan 'aqal-nya secara mutlak dalam masalah iman kepada Allah Ta'ala. Seruan kepada penelitian semesta alam secara seksama untuk mencari sunnatullah dan meraih petunjuk kepada keimanan terhadap Penciptanya telah diulang-ulang ratusan kali oleh Al-Quran dalam surat yang berbeda. Semuanya ditujukan kepada potensi 'aqal manusia supaya ia melakukan tadabbur dan perenungan mendalam, sehingga imannya terbit dari 'aqal dan bukti nyata. Juga untuk memperingatkan agar ia tidak mengikuti jejak nenek moyang tanpa penelitian, tanpa pengujian dan tanpa keyakinan terhadap kebenarannya.
Inilah keimanan yang diserukan oleh Islam. Iman semacam ini bukanlah yang dinamakan sebagai keimanan orang-orang yang lemah, justru inilah keimanan orang yang cemerlang dan meyakinkan, yang senantiasa mengamati (semesta alam, kehidupan dan manusia), berpikir dan berpikir, yang dengan pengamatan dan proses berpikir inilah ia sampai kepada keyakinan adanya Allah Yang Maha Kuasa.
Meskipun manusia wajib menggunakan 'aqal-nya dalam pencapaian iman kepada Allah Ta'ala, namun ia tidak mungkin mengetahui apa yang berada di luar jangkauan indera dan 'aqal-nya. Karena 'aqal manusia terbatas, kemampuannya juga terbatas meskipun tetap meningkat dan bertumbuh dengan batasan-batasan tak terhingga, keterbatasan kemampuannya ini menjadikan pengetahuannya juga terbatas. Maka, perlu membatasi 'aqal, bahwa ia tidak mungkin mampu menjangkau Dzat Allah dan hakikat-Nya. Karena Allah Ta'ala berada di balik semesta alam, manusia dan kehidupan. Sementara 'aqal manusia tidak mampu memahami hakikat sesuatu yang berada di luar jangkauannya, sehingga ia pun tidak akan mampu memahami Dzat Allah Ta'ala.
Lalu, "Bagaimana mungkin manusia mengimani Allah Ta'ala dengan 'aqal, sementara 'aqalnya tidak mampu memahami Dzat Allah Ta'ala?" ini merupakan pertanyaan yang tidak pas, karena hakikat iman itu sesungguhnya mempercayai wujud Allah Ta'ala, dan wujud-Nya dapat dipahami dari wujud ciptaan-Nya; semesta alam, manusia dan kehidupan. Ketiga unsur ini berada dalam batas jangkauan yang dapat dipahami oleh 'aqal, sehingga - dengan memahami ketiga unsur ini - 'aqal mampu memahami wujud Al-Khaliq yang menciptakan ketiganya, Dialah Allah Ta'ala.
Karena itu, iman mempercayai wujud Allah Ta'ala melalui 'aqal masih dalam batasan jangkauan 'aqal. Tidak seperti usaha memahami Dzat Allah Ta'ala yang merupakan suatu kemustahilan, karena Dzat Allah Ta'ala berada di balik semesta alam, manusia dan kehidupan. Artinya ia berada di luar jangkauan 'aqal. Sementara 'aqal tidak mungkin memahami hakikat yang ada di luar jangkauannya, karena keterbatasannya untuk memahami hal tersebut. Dan keterbatasan ini semestinya menjadi penguat keimanan, bukan sebagai penyebab kebimbangan dan keraguan.
Sesungguhnya, tatkala keimanan kita kepada Allah Ta'ala datang dari proses berpikir cemerlang, maka kesadaran kita terhadap wujud-Nya adalah kesadaran yang sempurna. Dan ketika perasaan kita terhadap wujud Allah dikaitkan dengan 'aqal, perasaan ini menjadi perasaan yang meyakinkan. Semua ini memberikan kita pemahaman yang sempurna dan perasaan yang meyakinkan terhadap sifat-sifat ketuhanan.
Hal ini mencukupkan kita bahwa kita tidak akan mampu menjangkau dan memahami hakikat Dzat Allah Ta'ala. Dan bahwa kita wajib menerima semua yang Allah Ta'ala kabarkan tentang hal-hal yang 'aqal tidak mampu mencapai pemahaman terhadapnya. Ini disebabkan karena kelemahan 'aqal manusia - yang memiliki ukuran-ukuran nisbi serba terbatas - dalam memahami apa yang berada di luar jangkauannya. Padahal untuk memahami apa yang berada di luar jangkauan 'aqal, diperlukan ukuran-ukuran yang tidak nisbi dan tidak terbatas, yang justru tidak dimiliki oleh manusia, dan memang manusia tidak akan pernah sanggup memilikinya.
Comments
Post a Comment