Skip to main content

Ikatan Pendorong Kebangkitan Manusia

Setiap kali terjadi kemerosotan pola pikir, maka ikatan kebangsaan (nasionalisme) mulai tumbuh di tengah-tengah manusia. Kemerosotan pola berpikir terjadi karena kebersamaan mereka hidup di suatu wilayah tertentu dan keterikatan mereka dengan wilayah tersebut, sehingga Gharizat al-Baqa' mendorong mereka untuk mempertahankan diri dan membela negara - tempat mereka hidup dan mencari penghidupan di dalamnya. Dari sinilah muncul nasionalisme yang merupakan ikatan terlemah dan paling rendah nilainya. Ikatan yang juga terdapat dalam dunia hewan dan burung-burung yang cenderung bersifat emosional.

Ikatan nasionalisme lazim terjadi pada kasus ketika ada agresi pihak asing yang melakukan penyerangan atau penaklukan terhadap suatu negeri tertentu. Dan tidak terjadi pada negeri yang aman damai (tidak ada agresi pihak asing). Ketika pihak asing berhasil dilawan dan diusir dari negeri tersebut, terhentilah ikatan nasionalisme, karena itulah ikatan ini paling rendah nilainya.

Tatkala terjadi kepicikan berpikir di tengah-tengah manusia, tumbuhlah ikatan kesukuan (sukuisme); sebuah ikatan kekeluargaan dengan cakupan lebih luas. Kepicikan berpikir muncul, karena di dalam diri manusia terdapat Gharizat al-Baqa' yang menyukai kekuasaan. Pada manusia yang taraf berpikirnya rendah, ambisi berkuasa muncul sebatas individu saja. Namun seiring kesadarannya meningkat, maka bertambah luaslah cakupannya, sehingga ia mendambakan kedaulatan keluarganya. Ketika cakrawala dan idrak-nya bertambah luas, ia mendambakan kedaulatan sukunya di negeri kelahirannya. Ketika kedaulatan sukunya atas suatu negeri terealisasi, ia melihat kedaulatan sukunya atas suku-suku lain.

Karena aspek itulah, persaingan lokal perebutan kekuasaan antar-anggota keluarga selalu muncul, sampai salah seorang anggota keluarga memenangkan kepemimpinan atas anggota lainnya, lalu persaingan berpindah menjadi perebutan kedaulatan antar-keluarga, sampai satu keluarga atau koalisi beberapa keluarga memenangkan kepemimpinan atas suatu suku, persaingan terus berlanjut antar-suku menjadi perebutan kekuasaan-kepemimpinan dan kharisma pada taraf kehidupan. Dengan demikian, fanatisme golongan sangat dominan pada mereka; terutama pada hasrat dan dukungan antar-mereka satu sama lain. Ikatan Sukuisme termasuk ikatan yang tidak manusiawi, sebab ia banyak menimbulkan perselisihan internal, jika tidak disibukkan dengan pertentangan eksternal.

Berdasarkan itu, nasionalisme merupakan ikatan yang rusak karena tiga sebab: Pertama, karena ia bermutu rendah yang tidak berfungsi untuk menyatukan manusia ketika menempuh jalan kebangkitan dan kemajuan. Kedua, karena ia bersifat emosional yang muncul dari Gharizah al-Baqa' (naluri membela diri), dan ia rentan berubah-ubah, sehingga ia tidak layak dijadikan ikatan abadi antar-manusia. Ketiga, karena ia bersifat temporal yang hanya ditemukan ketika mempertahankan diri dari ancaman. Adapun dalam kondisi stabil dan normal, ia tidak ada. Karenanya, ia tidak pantas dijadikan ikatan antar-manusia.

Demikian pula sukuisme merupakan ikatan yang rusak karena tiga sebab: Pertama, karena ia ikatan kesukuan yang tidak dapat digunakan untuk mengikat manusia ketika menuju kepada kebangkitan. Kedua, karena ia bersifat emosional yang muncul dari Gharizah al-Baqa' berupa ambisi meraih kekuasaan. Ketiga, ia bersifat tidak manusiawi, dimana menyebabkan perselisihan antar-manusia dalam perebutan kekuasaan, maka ia tidak layak dijadikan pengikat antar-manusia.

Beberapa ikatan rusak yang masih dianggap sebagai pengikat manusia adalah ikatan kemaslahatan dan ikatan kerohanian tanpa aturan. Adapun ikatan kemaslahatan merupakan ikatan temporal yang tidak dapat digunakan untuk mengikat manusia, ia rentan terhadap penawaran kemaslahatan yang lebih besar, sehingga wujudnya hilang ketika satu maslahat telah diunggulkan, ikatan ini berakhir ketika maslahat telah tercapai. Maka, ikatan ini berbahaya bagi para pesertanya. Adapun ikatan kerohanian tanpa aturan, hanya terlihat dari sisi spiritual, tidak tampak dalam kehidupan, ikatan parsial tanpa amal ini tidak layak dijadikan pengikat antar manusia dalam seluruh sisi kehidupan. Dari sini, meskipun semua bangsa Eropa memeluk aqidah nasrani, namun ia tidak layak dijadikan pengikat antar bangsa-bangsa Eropa, karena ia hanya ikatan kerohanian tanpa aturan.

Semua ikatan tersebut tidaklah pantas dijadikan pengikat manusia untuk mencapai kebangkitan dan kemajuan. Ikatan yang benar untuk mengikat manusia adalah ikatan al-Aqidah al-'Aqliyyah yang memiliki aturan sistem, inilah ikatan mabdaiyyah.

Comments

Popular posts from this blog

Manusia: Musayyar atau Mukhayyar? (Part 1)

Seorang Peneliti berpendapat bahwa manusia hidup di dalam dua area . Pertama, " area yang manusia kuasai ". Area ini berada dalam lingkup kekuasaan manusia, dan seluruh perbuatan/peristiwa yang terjadi dalam area ini merupakan pilihannya. Kedua, " area yang menguasai manusia ". Area ini tidak berada dalam kendali manusia; Pada area ini, semua perbuatan/peristiwa - baik peristiwa itu berasal dari manusia ataupun peristiwa itu menimpa dirinya - seluruhnya terjadi tanpa campur tangan manusia sedikitpun. Perbuatan/peristiwa yang terjadi pada " area yang menguasai manusia ", tidak ada sedikitpun andil dan campur tangan manusia dalam kejadiannya. Area yang kedua ini terbagi dua ; Pertama, bagian yang membutuhkan Nizham al-Wujud ( sunnatullah ). Kedua, bagian yang tidak membutuhkan Nizham al-Wujud , namun tetap berada di luar kapasitas kendali manusia, dan ia tidak mampu menolak atau menghindarinya. Adapun bagian yang membutuhkan Nizham al-Wujud , maka manusia...

Manusia: Musayyar atau Mukhayyar? (Part 2)

Segala perbuatan/peristiwa yang terjadi pada area yang menguasai manusia inilah yang dinamakan qadha'un , sebab Allah Ta'ala-lah yang membuat putusannya. Karena itulah, seorang hamba tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan/peristiwa yang terjadi pada area ini - (tanpa perlu mempertimbangkan kembali segala hal yang mungkin terkandung di dalam perbuatan/peristiwa tersebut) sekalipun di dalamnya terdapat manfaat atau mudharat, meskipun terkandung rasa suka manusia yang menganggapnya baik atau rasa benci manusia yang menilainya buruk - sebab hanya Allah Ta'ala-lah yang mengetahui hakikat baik dan buruknya perbuatan/peristiwa tersebut. Sedangkan manusia tidak memiliki andil, tidak mengetahui hakikat dan tidak mengerti bagaimana cara mewujudkan perbuatan/peristiwa tersebut, serta tidak mampu untuk menolak atau menghadirkannya. Manusia hanya diwajibkan untuk mengimani qadha', bahwasanya ia berasal dari Allah Ta'ala. Adapun qadar, bahwasanya perbuatan/peristiwa - ...

Keharusan Adanya Para Rasul

Adapun kebutuhan manusia kepada para Rasul, maka kita perlu memahami bahwa manusia adalah makhluq ciptaan Allah Ta'ala, naluri beragama merupakan salah satu kecenderungan gharizah yang fithri pada diri manusia. Secara fithrah , manusia cenderung men- taqdis -kan Pencipta-Nya , pen- taqdis -an inilah yang disebut ibadah, yakni hubungan antara manusia dengan Al-Khaliq . Jika hubungan ibadah ini dibiarkan begitu saja tanpa aturan , hal itu dapat mengakibatkan kekacauan ibadah dan dapat menyebabkan penyembahan kepada selain Pencipta . Maka, harus ada penerapan aturan hubungan ibadah ini dengan peraturan yang shahih , dan peraturan yang shahih ini tidak mungkin datang dari manusia, karena manusia tidak mampu memahami hakikat Al-Khaliq . Maka, aturan ini haruslah datang dari Al-Khaliq . Dan karena aturan ini harus sampai kepada manusia, maka harus ada para Rasul yang bertugas menyampaikan agama Allah Ta'ala kepada ummat manusia . Argumentasi lain tentang kebutuhan manusia ke...