Khashiyat-khashiyat al-Asyaa', gharizah, dan Hajat al-'Udhwiyyah - yang telah Allah Ta'ala kadarkan bersifat baku, - meskipun ia memiliki pengaruh dalam proses terjadinya suatu perbuatan/peristiwa, namun khashiyat-khashiyat ini tidaklah menciptakan perbuatan/peristiwa, manusialah yang melakukan perbuatan ketika menggunakan khashiyat-khashiyat tersebut. Dorongan seksual yang terdapat pada Gharizat an-Nau' memiliki potensi baik dan buruk; Rasa lapar yang terdapat pada Hajat al-'Udhwiyyah juga memiliki potensi baik dan buruk. Akan tetapi, yang melakukan kebaikan dan keburukan itu manusia, bukan gharizahnya, bukan pula Hajat al-'Udhwiyyahnya.
Hal itu karena Allah Ta'ala telah menciptakan 'aqal, juga menjadikan kemampuan idraak (mengetahui-memahami baik/buruk) dan kemampuan tamyiz (membedakan baik/buruk) di dalam tabiat 'aqal. Allah Ta'ala menunjukkan jalan baik dan jalan buruk (QS. Al-Balad [90]:10), dan menjadikan kemampuan idrak terhadap fujur dan taqwa (QS. Asy-Syams [91]:8). Maka, ketika manusia memenuhi gharizah dan Hajat al-'Udhwiyyahnya sesuai dengan perintah dan larangan Allah Ta'ala, sesungguhnya ia telah melakukan kebaikan dan berjalan pada jalan ketaqwaan. Dan ketika ia memuaskan gharizah dan Hajat al-'Udhwiyyahnya dengan mencampakkan perintah Allah Ta'ala dan larangan-Nya, sesungguhnya ia berbuat keburukan dan berjalan pada jalan kefasikan.
Jadi, dalam kedua hal tersebut, manusialah yang memutuskan melakukan kebaikan atau keburukan, dan ia pula yang memutuskan mendapatkan kebaikan atau keburukan; dialah yang memenuhi kebutuhannya sesuai dengan perintah Allah Ta'ala dan larangan-Nya, maka ia berbuat kebaikan; dia pula yang memenuhi kebutuhannya dengan menyelisihi perintah dan larangan Allah Ta'ala, maka ia berbuat keburukan. Atas dasar inilah, manusia dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan/peristiwa yang terjadi pada area yang dia kuasai; diberi pahala atau diberi siksaan. Karena ia melakukan perbuatan tersebut secara sukarela, tanpa ada paksaan sedikitpun.
Namun, meskipun gharizah, Hajat al-'Udhwiyyah dan khashiyyatnya dari Allah Ta'ala, serta potensi yang mengandung kebaikan dan keburukan itu dari Allah Ta'ala, akan tetapi Allah Ta'ala tidak menciptakan khashiyat-khashiyat ini dalam bentuk yang memaksa manusia untuk melakukan suatu perbuatan tertentu; apakah perbuatan yang Allah ridhai atau perbuatan yang Allah murkai; apakah ia perbuatan yang buruk atau baik.
Khashiyat ihraq (yang terdapat pada api) tidak memaksa manusia melakukan pembakaran; apakah pembakaran itu Allah ridhai atau Allah murkai; apakah pembakaran itu baik atau buruk. Sesungguhnya khashiyat diciptakan pada al-Asyyaa', gharizah dan Hajat al-'Udhwiyyah supaya berfungsi dengan baik ketika manusia menggunakannya dalam bentuk yang dikehendaki. Allah Ta'ala ketika menciptakan manusia beserta gharizah dan Hajat al-'Udhwiyyahnya, juga menciptakan 'aqal yang mampu membedakan (baik/buruk) dan memberinya kebebasan memilih untuk melakukan perbuatan atau meninggalkan perbuatan tersebut; dan Allah Ta'ala tidak pernah memaksa manusia untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan.
Allah Ta'ala tidak menciptakan khashiyat al-Asyyaa', gharizah dan Hajat al-'Udhwiyyah sebagai suatu yang memaksa manusia untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan. Karena manusia bebas melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya dengan menggunakan 'aqalnya yang mampu membedakan (baik/buruk), dan Allah Ta'ala telah menjadikannya sebagai manath taklifis-syar'i; sandaran bagi pembebanan kewajiban melakukan syariat.
Karena inilah, Allah Ta'ala menyediakan ganjaran bagi perbuatan baik, sebab aqal manusialah yang memilih menegakkan perintah Allah Ta'ala dan menjauhi larangan-Nya. Allah Ta'ala juga menyediakan hukuman bagi perbuatan buruk, sebab aqal manusia pulalah yang memilih menyelisihi perintah Allah Ta'ala dan melanggar larangan-Nya, ketika ia memuaskan gharizah dan Hajat al-'Udhwiyyahnya dengan cara-cara selain yang Allah Ta'ala perintahkan. Balasan terhadap perbuatan semacam ini merupakan balasan yang haqq dan adil, karena manusia dibebaskan memilih tanpa paksaan. Di sini tidak ada bentuk qadha-qadar, justru permasalahannya terletak pada tindakan seorang hamba secara sukarela, karena itulah ia dikenai tanggungjawab atas perbuatannya, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman: "Setiap diri bertanggungjawab penuh atas apa yang telah diperbuatnya." (QS. Al-Mudatstsir [74] : 38).
Comments
Post a Comment